Malino

Malino 1927

Malino dikenal sekarang ini sebagai tempat peristirahatan atau tempat wisata. Sebelum muncul nama Malino, dulu rakyat setempat mengenalnya deengan nama kampung ‘Lapparak’. Laparrak dalam bahasa Makassar berarti datar, yang berarti pula hanya di tempat itulah yang merupakan daerah datar di puncak Gunung Bawakaraeng. Malino dan Laparrak berada pada ketinggian antara 980-1.050 meter di atas permukaan laut.

Kota Malino baru dikenal dan semakin popular sejak zaman penjajahan Belanda, lebih-lebih setelah Gubernur Caron pada tahun 1927 memerintah di “Celebes on Onderhorighodon” telah menjadikan Malino pada tahun 1927 sebagai tempat peristirahatan bagi para pegawai pemerintah dan siapa saja dari pemerintah warga kota Makassar (Ujung Pandang) sanggup dan suka membangun bungalow atau villa di tempat sejuk itu.

Sebelum memasuki kota Malino, terdapat sebuah tembok prasasti di pinggir jalan dengan tulisan: MALINO 1927. Tulisan tersebut cukup jelas dan seketika itu pula dapat dibaca setiap orang yang melintas di daerah itu.

Malino 1927 bukan berarti Malino baru dikuasai Belanda pada tahun itu. Jauh sebelumnya, Belanda sudah berkuasa di wilayah Kerajaan Gowa, terutama setelah pasca Perjanjian Bungaya 18 November 1667.

Sejak zaman kerajaan, Malino atau Laparrak hanya terdiri dari hutan belantara, di dalam wilayahnya terdapat beberapa anak sungai yang semuanya bermuara pada Sungai Jeneberang.

Ada tempat wisata yang sejuk di Buluttana, seperti air terjun, juga dibangun tiga rumah adat, yakni rumah adat Balla Jambua, Balla Tinggia dan Balla Lompoa. Di tempat itu kondisi hawanya dingin dan sejuk dan sering dijadikan sebagai tempat wisata.

Di puncak Bawakaraeng, kini menjadi objek wisata petualangan. Setiap saat banyak wisatawan berdatangan untuk melakukan pendakian ke Puncak bawakaraeng. Mereka lalu menancapkan bendera di puncak gunung itu. Menurut cerita, Malino selain dijadikan sebagai tempat peristirahatan, juga menjadi tempat persembunyian bagi para pejuang. Karena sejak Belanda masuk ke wilayah Kerajaan Gowa sudah terjadi konflik, terutama pasca perjanjian Bungaya, dimana Belanda sudah berkuasa, rakyat mengungsi ke wilayah itu.

Sejak tahun 1927, setelah Belanda secara resmi menjadikan Malino sebagai tempat peristirahatan, maka kebijakan pemerintah Belanda saat itu adalah memberi kesempatan pada orang asing baik Belanda maupun Cina untuk membangun bungalow atau villa. Sedang penduduk setempat dilarang mendirikan rumah. Rumah rakyat digeser masuk ke hutan atau lereng gunung, kecuali di sekitar pasar. Menurut keterangan ibu Siti Saerah Dg Moming (Penilik Kebudayaan kantor Cabang Dinas P & K Tinggimoncong) dan anak angkat dari Abd Rahman Dg Mile yang pernah ikut Tuan Weydoman pada tahun 1930, Malino saat itu hanya berdiri beberapa bangunan yakni Barugaya (Mess Pemda Tingkat I Propinsi Sulsel), Restoran, Pesanggrahan dan MEPB (PLN sekarang).

Pada masa pemerintahan Jepang, Malino juga tak luput dari pengawasannya. Karena tanahnya yang subur, maka Malino saat itu dijadikan sebagai daerah penghasil sayur mayur untuk menutupi kebutuhan sayur para serdadu dan pekerja Jepang. Juga di sepanjang jalan, banyak ditemui lubang-lubang perlindungan, sebagai tempat penghadangan musuh. Juga banyak ditemui gudang senjata dan rumah sakit Kaigumbioying dan markas tentara (SMP negeri Malino sekarang). Nama Malino sebenarnya adalah nama sungai yang berhulu di Laparrak (Malino sekarang).

Sungai Malino dapat dilewati jika kita menuju kota Malino yang dihubungkan dengan sebuah jembatan gantung Lebong. Sungai Malino airnya amat tenang seolah-olah memberikan ketenangan dan kesejukan di hati, sesuai dengan namanya Malino yang artinya amat tenang. Malino yang dibangun oleh pemerintah Belanda sesuai tempat peristirahatan, memiliki hawa yang sejuk segar bahkan kadang kala terasa cukup dingin dengan ketenangan. Keadaan alam dan lingkungan yang demikian itu sangat cocok kiranya apabila tempat ini diberi nama Malino. Sejak itulah Lapparak berubah nama menjadi Malino yang artinya amat tenang.

Setiap tamu yang berkunjung ke Malino akan merasa kesejukan dan ketenangan tersebut. Pada masa pemerintah Belanda dahulu, Malino hanyalah merupakan satu kampung gabungan Buluttana dan diperintah oleh seorang kepala kampung dengan gelar Karaeng Buluttana. Buluttana termasuk Wilayah Distrik Parigi dengan pusat pemerintah distrik yang berkedudukan di Tanete sampai pada tahun 1939. Kemudian pada tahun 1939-1952 ibu kota distrik Parigi pindah dari Tanete ke Saluttowa, sekitar 10 km dari sebelah barat kota Malino.

Wilayah Distrik Parigi terdiri atas 6 (enam) buah kampung gabungan (desa) masing-masing:

1. Kampung gabungan Jonjo diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan dengan gelar Anrong Guru Jonjo.

2. Kampung Gabungan Gantarang diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan dengan gelar Karaeng Gantarang.

3. Kampung Gabungan Buluttana, diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan dengan gelar Karaeng Buluttana.

4. Kampung Gabungan Longka, diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan dengan gelar Karaeng Longka.

5. Kampung Gabungan Manimbahoi, diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan dengan gelar karaeng Manimbahoi.

6. Kampung Gabungan Sironjong, diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan dengan gelar Karaeng Sironjong.

Malino merupakan bagian dari kampung gabungan Buluttana, ternyata kemudian mengalami perkembanngan pesat dibanding Saluttowa sebagai ibukota / pusat pemerintahan distrik. Karena Malino yang semula dijadikan sebagai tempat peristirahatan, atas pertimbangan Pemerintah belanda pada tahun 1952, maka ibukota distrik dipindahkan dari Saluttowa ke Malino.

Pemindahan ibukota distrik itu dilakukan dengan pertimbangan, bahwa Malino memiliki keistimewaan sebagai tempat peristirahatan yang sejuk dan nyaman, juga letaknya sangat strategis. Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1962, seiring dengan tuntutan dan perkembangan pemerintahan, di ujung Timur Gowa, dibentuk satu distrik, namanya distrik Pao yang dibentuk dari 6 kampung gabungan yakni:

1. Kampung Baringong

2. Kampung Tonasa

3. Kampung Pao

4. Kampung Suka

5. Kampung Balasuka

6. Kampung Mamampang

Kampung gabungan tersebut masing-masing diperintahkan oleh Gallarang. Namun kedua distrik di daerah dataran tinggi itu pada tahun 1957 dibentuk Koordinatorschap Gowa Timur yang berkedudukan di Malino. Koordinatorschap Gowa Timur meliputi Parigi, inklusif Malino kota dan Tombolo Pao.

Pada tahun 1961, pemerintahan koordinatorschap ini dihapus sesuai dengan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia. Saat itu dilakukan reorganisasi pemerintahan distrik menjadi kecamatan. Gowa saat itu terdiri dari 12 distrik, kemudian dilebur menjadi 8 kecamatan, yakni kecamatan Tamalate, Panakukkang, Bajeng, Palangga, Bontomarannu, Tinggimoncong, Tombopulu dan Bontomarannu.

Atas kebijakan itu pula, distrik Parigi dan distrik Pao kemudian dilebur menjadi satu kecamatan, namanya kecamatan Tinggimoncong. Tapi kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1990 an, dengan alasan mempermudah pelayanan, maka kecamatan Tinggimoncong dimekarkan lagi menjadi satu kecamatan yakni kecamatan Parigi.